SPOT SELFIE DAN RESPONSIF GENDER
RESPONSIF GENDER
Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) adalah salah satu dari tiga pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi wadah bagi akademisi untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. PkM dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Namun, PkM tidak serta-merta responsif gender. Tanpa perencanaan yang matang dan pemahaman yang mendalam tentang perbedaan peran dan kebutuhan laki-laki dan perempuan, PkM justru bisa memperlebar kesenjangan yang ada.
Responsif gender dalam PkM berarti kita secara sadar mengintegrasikan perspektif gender di setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan analisis gender di lokasi PkM. Kita perlu mencari tahu, siapa saja yang berperan dalam pengambilan keputusan? Bagaimana akses laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya? Apa tantangan spesifik yang dihadapi oleh perempuan dan laki-laki?
Misalnya, dalam sebuah PkM tentang peningkatan produksi pertanian, kita tidak bisa hanya mengasumsikan bahwa semua petani adalah laki-laki. Kita harus mencari tahu peran perempuan dalam proses pasca-panen, pemasaran, atau bahkan pengelolaan keuangan keluarga. Dengan pemahaman ini, program yang kita rancang bisa lebih tepat sasaran. Pelatihan yang diberikan tidak hanya untuk laki-laki, tetapi juga disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu yang dimiliki oleh perempuan, yang seringkali memiliki beban ganda, yaitu pekerjaan domestik dan produktif.
Dalam PkM yang responsif gender, perempuan tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek yang aktif dalam setiap kegiatan. Mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, misalnya dalam menentukan jenis program yang paling dibutuhkan, memilih lokasi kegiatan, hingga memimpin jalannya program. Keterlibatan ini penting untuk memastikan bahwa program yang dijalankan benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dan dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan.
Setelah program berjalan, evaluasi juga harus dilakukan dengan kacamata gender. Kita perlu mengukur, apakah program ini berhasil meningkatkan peran dan partisipasi perempuan? Apakah laki-laki juga memiliki kesadaran baru tentang pentingnya kesetaraan gender? Hasil evaluasi ini akan menjadi pembelajaran berharga untuk program-program PkM selanjutnya.
Pada akhirnya, PkM yang responsif gender bukanlah sekadar tren, melainkan sebuah kebutuhan. Ini adalah komitmen untuk memastikan bahwa setiap program yang kita lakukan tidak ada yang tertinggal. Dengan menerapkan pendekatan ini, PkM dapat menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan sejahtera bagi semua, baik laki-laki maupun perempuan.